Mahasiswa dan Aksinya

Sebut saja Mahasiswa, seharusnya begitu. Termasuk suatu golongan penting
dalam masayarakat, penting karena mereka tetaplah rakyat yang tak bisa asal
dibungkam. Tak jarang mereka yang aktif akan tergabung dalam beberapa organisasi
dan menamakan diri mereka sebagai seorang aktivis. Dengan berbagai kegiatan,
sekelompok mahasiswa menciptakan visi dan misi baru yang dipercaya sebagai do'a
mustajab untuk kelangsungan organisasi yang mereka bentuk dalam beberapa periode
kedepan.
Berbeda dengan pelajar, tentu saja kita semua tahu bahwa tingkatan Mahasiswa
lebih tinggi. Dalam status ini, Mahasiswa tidak lagi harus diperintah ataupun didikte
karena memang seharusnya mereka dapat berfikir kritis dan mengkritisi sebuah
keadaan.
Berbicara mengenai kritis terhadap keadaan, kita semua tahu semakin hari harga
kebutuhan pokok semakin melonjak tinggi, hampir atau bahkan tak tergapai bagi rakyat
yang tak berpenghasilan tetap. Disisi lain, ratusan ribu atau jutaan Mahasiswa diluar
sana bernasib tak jauh berbeda karena pada dasarnya mereka adalah produk dari rakyat
biasa, dan sebagian Mahasiswa lain harus bersyukur karena dapat belajar tenang tanpa
gangguan 'Ba Bi Bu'.
Dengan naiknya salah satu harga kebutuhan pokok, maka naiklah semua harga
harga yang lain. Ya, lucu sekali dengan realita yang terus menerus seperti itu. Keadaan
inilah yang membuat Mahasiswa jengah dan merasa harus melakukan sesuatu agar
pemerintah sedikit saja memperhatikan fenomena ini. Dan begitulah, bermunculan
beberapa aksi unjuk rasa beberapa waktu yang lalu.
Entah, unjuk rasa yang beruntun membuat sebagian simpati atau malah jengah.
Beberapa golongan yang memang sepenuh hati berjuang agar pemerintah sadar namun
tak sedikit golongan yang hanya ikut ikutan dengan memasang wajah nasionalis yang
pada hakikatnya justru terlihat ironis. Dengan banyaknya unjuk rasa belakangan ini,
seakan mengingatkan kita pada beberapa aksi besar yang pernah dilakukan mahasiswa
seperti aksi mahasiswa pada tahun 1966 dimana pada saat itu mahasiswa merasa sangat
jengah dengan pergulatan tentang PKI. Para menteri yang sewenang wenang dan
juga Mahasiswa merasa sudah tidak adanya keadilan yang menaungi mereka. Lalu pada
tahun 1998 dengan spirit yang sama dan dengan keluhan yang tak jauh berbeda, kita
mendapati Mahasiswa berbaur dengan Masyarakat menyatukan aksi untuk merobohkan
Orde Baru. Menengok pada tahun 1998 pula, kita dapat mengenang dan juga
menyaksikan betapa Mahasiswa berjuang penuh mengorbankan apa saja yang mereka
punya sampai kita dapati kabar bahwa beberapa teman Mahasiswa meninggal dunia
dalam aksi tersebut. Aksi Mahasiswa pada tahun 1966 dan 1998 kembali menjadi
cerminan, sekaligus lubang hitam dimana kita mendapati kondisi pemerintahan yang lagi
lagi tidak stabil akhir akhir ini.
Tak hanya itu, kini bukan saja Mahasiswa yang melakukan unjuk rasa. Beberapa
organisasi masyarakat pun turut memenuhi Headline berbagai surat kabar beberapa bulan
terakhir. Entah apa saja yang mereka inginkan. Tayangan berita pada layar kaca dipenuhi
dengan vidio aksi saling dorong atau mengepalkan tangan seperti hendak memaksa
sesuatu. Ya, memaksa mungkin itu bukan kata yang tepat namun setidaknya kata itu yang
dapat digambarkan.
Entah kenapa dan mengapa. Seperti tiada kata kedaluwarsa untuk mengungkapkan
aspirasi masal selain unjuk rasa. Seperti tiada sinonim untuk menggambarkan unjuk rasa
selain ricuh dan saling memaki. Dari tahun ke tahun, masa beralih, usia bertambah dan
manusia kecil pun tumbuh dewasa. Namun haruskah kita jadikan unjuk rasa, khususnya
kepada Mahasiswa sebagai prototype rusaknya sebuah tatanan masyarakat? (Jr)

Romeltea Media
LPM - SAINT Updated at:
Get Free Updates:
*Please click on the confirmation link sent in your Spam folder of Email*

Be the first to reply!

Posting Komentar

 
back to top